catatan yang saya simpan untuk data karya ilustrasi
Genderuwo, Perjalanan Sang Rupawan Menjadi Momok
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo menyindir lawan politiknya yang beliau tuduh sering menyebarkan perasaan takut dalam berkampanye dengan istilah “politik genderuwo”.
Terlepas dari pro kontra istilah yang digunakan kepala negara yang lebih dikenal dengan sebutan Jokowi tersebut, ada catatan kecil antropologis-mitologis yang menarik mengenai sosok genderuwo itu sendiri. Sosok ini ada di folklore atau mitos rakyat di budaya Jawa dan Sunda dan dikenal sebagai salah satu mahluk halus yang cenderung jahat dan usil sifatnya, meski tidak semuanya.
Berkelamin laki-laki dengan tubuh tinggi besar dan berbulu lebat bak kera, genderuwo menjadi sosok menakutkan dalam alam bawah sadar orang-orang Indonesia yang tumbuh di kultur Jawa dan Sunda.
Namun jika ditilik dari berbagai sudut, genderuwo ini kemungkinan besar adalah korban hoaks yang telah terjadi beratus-ratus tahun lamanya.
Secara umum sudah diakui bahwa kata genderuwo berasal dari bahasa Jawa kuno (Kawi) gandharwa yang diambil dari kata Sansekerta gandharva. Dalam mitologi Hindu dan Budha, gandharva adalah sosok setengah dewa rupawan berjenis kelamin laki-laki yang berperan sebagai pemusik, penari maupun pembawa berita bagi para dewata. Sosok perempuan pasangan gandharva adalah hapsara atau apsara.
Penggambaran ini secara pasti berlaku di pulau Jawa sebelum kedatangan agama Islam, karena sosok gandharwa dan apsara yang seringkali berpasangan, maupun sendirian, ditemukan di berbagai relief yang terpahat di candi-candi kita, misalnya di Candi Mendut, Prambanan dan Borobudur.
Gandharwa dan apsara pada saat itu kemungkinan besar dipercayai sebagai mahluk halus setara dengan bidadara dan bidadari dan dalam perannya sebagai pembawa pesan dewata sering melakukan kontak dengan manusia. Kedekatan para gandharwa dan apsara dengan dunia manusia ini menarik karena sosok genderuwo sendiri dipercayai bisa melakukan kontak dengan manusia dan sering menampakkan diri.
Sering hadirnya sosok setengah dewa seperti bidadari dalam dunia manusia adalah salah satu motif cerita yang kerapkali muncul dalam cerita rakyat Nusantara, seperti legenda Jaka Tarub yang terkenal itu. Hal ini menguatkan tesis bahwa rakyat Nusantara di jaman lampau mempercayai kontak dengan mahluk supranatural semacam bidadari atau apsara dan gandharwa.
Pertanyaannya bagaiman sosok gandharwa yang rupawan itu menjadi menakutkan seperti yang sudah terbentuk dewasa ini? Hal ini bisa dijelaskan dengan istilah antropologis yaitu demonisasi, sebuah proses pencitraan yang mengubah sesuatu menjadi sosok negatif yang menakutkan. Hal ini kerap terjadi pada sosok-sosok yang terdapat dalam agama atau sistem kepercayaan yang tergantikan oleh yang baru.
Dalam ilmu mitologi komparatif, misalnya, hal ini terjadi pada sosok dewa alam Yunani dan Romawi Pan yang berbentuk manusia setengah kambing. Setelah masuknya agama Kristen di benua Eropa, sosok Pan yang populer di daerah pedesaan mengalami proses demonisasi menjadi sosok setan di budaya Eropa yang seringkali muncul di karya fiksi Barat saat ini, yaitu mahluk setengah manusia setengah kambing atau manusia bertanduk berekor.
Di mitologi pulau Jawa sendiri, hal ini terjadi juga pada sosok Kanjeng Ratu Kidul. Antropolog Belanda Roy E. Joordan, setelah meneliti sosok Ratu Kidul, berpendapat bahwa sosok tersebut sudah lama ada di tanah Jawa, bahkan ada sebelum masuknya Hindu ke Nusantara. Pada jaman Hindu-Budha, menurut Roy, sosok Ratu Kidul sering diidentikkan dengan dewi Tara Hijau.
Tapi, setelah masuknya Islam ke tanah Jawa, sosok ini menjelma menjadi semacam ratu bangsa jin seperti yang digambarkan pada Babad Tanah Jawi. Semenjak itu, sifat angker melekat pada Ratu Kidul, padahal sebagai Tara hijau, sosok ini dahulunya dianggap sebagai sosok penyelamat dari marabahaya.
Proses yang sama terjadi pada sosok Kuntilanak, yang berasal dari folklore Melayu. Sosok ini dikenal oleh bangsa-bangsa serumpun kita baik di Malaysia maupun Filipina dengan berbagai variasi nama seperti Matianak dan Pontianak.
Dalam sebuah dokumenter disutradarai V. Williams yang ditayangkan National Geographic pada tahun 2002, sosok Kuntilanak dijelaskan berasal dari sosok-sosok magis yang dikenal oleh suku-suku dalam Melayu seperti suku Semelai yang masih tinggal di hutan.
Dalam kepercayaan suku Semelai, Pontianak adalah mahluk halus bersifat penyembuh yang dipanggil dukun Semelai (Puyang) untuk membantu dalam pencarian arwah yang hilang di hutan. Sosok Pontianak, yang juga merupakan asal usul nama kota Pontianak, bergeser dari mahluk halus bersifat baik menjadi momok yang mengerikan seiring dengan masuknya agama-agama baru ( Islam di Malaysia dan Indonesia dan Kristen Katolik di Filipina).
Proses demonisasi yang dialami sosok Ratu Kidul dan Kuntilanak sangat mungkin telah terjadi pula pada genderuwo.
Karena itu, genderuwo sebagai sebuah metafora lebih cocok untuk diaplikasikan pada fenomena hoaks daripada politik menakuti (fear mongering), karena dengan semua disinformasi dan propaganda, sosok rupawan gandharwa bisa akhirnya menjelma menjadi menyeramkan dan jahil.
Dalam pidatonya di World Economic Forum on ASEAN, September lalu, di Hanoi, Vietnam, Jokowi menyebut sosok-sosok Avengers dari Marvel Comics sebagai sebuah analogi. Avengers adalah sekelompok dewa dan sosok setengah dewa yang menjadi pahlawan pembela kemanusiaan.
Dalam hal ini, gandharwa dahulu pun adalah sosok-sosok yang tidak jauh berbeda dengan Avengers: mahluk-mahluk yang bisa diminta tolongi untuk bermediasi dengan kekuatan alam dan para dewata. Sayang sekali jika para Avengers Nusantara ini, akibat hoaks yang berkepanjangan, tetap menajadi momok nasional akibat ketidaktahuan kita akan khasanah budaya sendiri